Menghidupkan Kembali Kehidupan Dalam Tanah: Jalan Menuju Pertanian Berkelanjutan
Menghidupkan Kembali Kehidupan di Dalam Tanah: Jalan Menuju Pertanian Berkelanjutan
Pernahkah kita benar-benar memahami seperti apa tanah yang baik untuk pertanian? Bukan sekadar media tempat menanam, tanah sejatinya adalah ekosistem yang hidup, bernafas, bergerak, dan menopang kehidupan lain—mulai dari mikroba, cacing, jamur, hingga akar tanaman yang menjadi pusat kehidupan itu sendiri. Tanah bukanlah benda mati yang hanya menampung pupuk, air, dan benih. Ia adalah rumah bagi miliaran makhluk kecil yang bekerja tanpa lelah untuk menjaga keseimbangan alam.
Sayangnya, dalam praktik pertanian modern yang banyak mengandalkan input kimia seperti pupuk sintetis, pestisida, dan herbisida, kita sering lupa bahwa tanah juga butuh “makanan”. Tanah yang diberi makan hanya dengan nutrisi kimia lama-lama akan kelelahan. Struktur tanah menjadi keras, kandungan bahan organik menipis, porositas menurun, dan kemampuan tanah menahan air serta menyerap hara pun menurun drastis. Tanpa kehidupan yang mendukungnya, tanah akan menjadi “tanah mati” yang tak mampu menopang pertumbuhan tanaman dengan baik.
Tanah: Rumah Kehidupan yang Terlupakan
Menurut laporan FAO (2020), satu gram tanah sehat mengandung hingga 10 miliar organisme hidup, mulai dari bakteri, fungi mikoriza, aktinomisetes, protozoa, nematoda, hingga cacing tanah. Mereka bekerja bersama membentuk jaring kehidupan bawah tanah yang kompleks, yang disebut sebagai soil food web. Dr. Elaine Ingham, seorang ahli biologi tanah terkemuka, menggambarkan tanah sehat sebagai "pabrik alami yang mengolah bahan mentah menjadi nutrisi siap serap bagi tanaman".
Cacing tanah misalnya, berperan sebagai “mesin bajak alami”. Dalam bukunya yang legendaris The Formation of Vegetable Mould through the Action of Worms (1881), Charles Darwin menyebut cacing tanah sebagai agen penting yang membantu pembentukan tanah subur. Mereka memakan bahan organik, mencerna, dan menghasilkan kotoran yang kaya nutrisi. Selain itu, lorong-lorong yang dibuat cacing tanah membantu meningkatkan aerasi dan pergerakan air dalam tanah, mencegah pemadatan, dan mendukung pertumbuhan akar yang sehat.
Di sisi lain, keberadaan bakteri pengikat nitrogen seperti Rhizobium yang hidup bersimbiosis dengan tanaman legum, atau Azotobacter yang hidup bebas di tanah, membantu menyediakan nitrogen secara alami bagi tanaman. Fungi mikoriza seperti Glomus sp. membantu tanaman menyerap fosfor dari tanah dengan lebih efisien. Ini semua adalah proses alami yang telah berlangsung selama jutaan tahun sebelum manusia mengenal pupuk kimia.
Dampak Praktik Pertanian Modern: Tanah yang Sakit dan Lapar
Revolusi Hijau yang dimulai pada pertengahan abad ke-20 membawa peningkatan produksi pangan melalui pemakaian masif pupuk kimia dan pestisida. Namun, di balik keberhasilan tersebut, ada harga mahal yang harus dibayar: tanah menjadi korban. Menurut data International Union for Conservation of Nature (IUCN) (2021), sekitar 33% lahan subur dunia telah terdegradasi, dan setiap tahunnya kita kehilangan 24 miliar ton lapisan tanah subur akibat erosi.
Di Indonesia, data Kementerian Pertanian (2021) menunjukkan sekitar 25% lahan sawah mengalami penurunan produktivitas akibat degradasi tanah. Kandungan bahan organik tanah rata-rata nasional hanya sekitar 1-2%, jauh di bawah standar ideal 5%. Tanah menjadi keras, mudah retak di musim kemarau, dan tergenang di musim hujan. Tanaman pun menjadi rentan terhadap hama, penyakit, dan gagal panen.
Ironisnya, meskipun input pupuk kimia terus ditingkatkan, hasil panen justru stagnan atau bahkan menurun. Ini menunjukkan bahwa “menyuburkan tanah” tidak sama dengan “memberi pupuk”. Tanah yang sehat bukan hanya soal kadar NPK tinggi, tetapi soal keberadaan kehidupan mikroba yang mendukung siklus nutrisi alami.
Menghidupkan Tanah: Kembali ke Prinsip Alam
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengembalikan kesuburan tanah? Jawabannya bukan sekadar menambahkan pupuk, melainkan memulihkan ekosistem tanah agar kembali bekerja secara alami. Prinsip dasarnya sederhana: apa yang diambil dari tanah harus dikembalikan ke tanah.
Beberapa langkah konkret yang bisa kita lakukan antara lain:
1. Menggunakan Bahan Organik sebagai Makanan Tanah
Bahan organik—baik dari kotoran ternak, kompos, limbah hijau, maupun sisa panen—adalah makanan utama bagi mikroba tanah. Menurut Brady & Weil (2010) dalam The Nature and Properties of Soils, setiap 1% penambahan bahan organik dalam tanah dapat meningkatkan kapasitas tanah menahan air hingga 20.000 liter per hektar. Bahan organik juga membantu membentuk agregat tanah yang stabil, memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan kapasitas tanah menyimpan hara.
2. Memanfaatkan Mikroba Tanah sebagai Pahlawan Tersembunyi
Mikroorganisme seperti Rhizobium, Azospirillum, Trichoderma, PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria), dan mikoriza terbukti mampu meningkatkan penyerapan hara, menekan penyakit tanaman, dan memperbaiki struktur tanah. Penelitian oleh Ingham (2016) menunjukkan bahwa tanah dengan komunitas mikroba yang seimbang memiliki ketahanan alami terhadap penyakit hingga 80% lebih baik dibanding tanah yang miskin mikroba.
3. Mengurangi Ketergantungan pada Pupuk Kimia
Bukan berarti harus langsung meninggalkan pupuk kimia sepenuhnya, tetapi kita bisa mulai dengan mengurangi dosis secara bertahap dan menggantinya dengan pupuk organik atau hayati. Kombinasi yang seimbang antara pupuk organik dan anorganik seringkali memberikan hasil yang lebih baik dibanding penggunaan pupuk kimia saja.
4. Menanam Tanaman Penutup Tanah (Cover Crop)
Tanaman penutup tanah seperti kacang-kacangan, clover, atau tanaman legum lainnya mampu mengikat nitrogen dari udara, meningkatkan bahan organik tanah, dan mencegah erosi. Mereka juga membantu memutus siklus hama dan penyakit.
5. Mengurangi Olah Tanah Berlebihan (No-Till atau Minimum Tillage)
Pembajakan atau pengolahan tanah yang berlebihan dapat merusak struktur tanah, membunuh mikroba, dan memicu erosi. Sistem tanam tanpa olah tanah (no-till farming) terbukti mampu menjaga agregat tanah dan meningkatkan keberagaman hayati di bawah permukaan.
Kesadaran Baru: Tanah Adalah Pangkal Kehidupan
Jika kita ingin pertanian yang berkelanjutan, kita harus memulai dari tanah. Tanah bukan hanya “tanah”—ia adalah pangkal kehidupan. Tanah yang sehat menghasilkan tanaman yang sehat, hewan yang sehat, dan manusia yang sehat. Semua saling terhubung dalam satu rantai kehidupan.
Dalam Islam, Al-Qur’an mengingatkan kita tentang pentingnya tanah:
"Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup." (QS. Al-Anbiya: 30)
"Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap." (QS. Al-Baqarah: 22)
Begitu pula dalam Alkitab, Kitab Kejadian 2:7 menyebutkan manusia dibentuk dari debu tanah—menandakan betapa manusia dan tanah saling terkait secara spiritual dan fisik.
Oleh karena itu, mari kita rawat tanah bukan hanya untuk hasil panen, tetapi juga untuk generasi mendatang. Mari kita kembalikan kehidupan ke dalam tanah dengan kesadaran, ketulusan, dan tindakan nyata.
Salam hijau, hidupkan kembali tanahmu! ๐ฟ
Referensi Pustaka:
-
Brady, N.C. & Weil, R.R. (2010). The Nature and Properties of Soils (14th ed.). Pearson.
-
Darwin, C. (1881). The Formation of Vegetable Mould through the Action of Worms. John Murray.
-
Food and Agriculture Organization (FAO). (2020). Soil Biodiversity and Agriculture.
-
International Union for Conservation of Nature (IUCN). (2021). Global Soil Erosion and Land Degradation Report.
-
Ingham, E.R. (2016). The Soil Food Web Approach: Building Soil Biology for Regenerative Agriculture.
-
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. (2021). Laporan Status Kesuburan Tanah Nasional.
-
Khan, S.A., Mulvaney, R.L., & Ellsworth, T.R. (2007). The Myth of Nitrogen Fertilization for Soil Carbon Sequestration. Journal of Environmental Quality.
-
Lal, R. (2004). Soil Carbon Sequestration Impacts on Global Climate Change and Food Security. Science.
Komentar
Posting Komentar